Dakwah YDSF di Bali

Dakwah YDSF di Bali

4 November 2022

Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF) telah menyebarkan dakwah kebaikan hingga wilayah Bali. Giat ini dilakukan jauh sebelum terjadinya bom Bali 2005. Berbagai lika liku dalam perjalanan dakwah ini dirasakan oleh para dai yang diamanahkan di wilayah setempat.

Perjuangan seorang dai untuk menyebarkan agama Islam di Bali sangatlah menarik. Layaknya babat alas, para dai berupaya memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Butuh seni dakwah tersendiri mendekati masyarakat yang berbeda keyakinan, berbeda budaya dan trauma terhadap Islam pasca-Bom Bali.

Kisah inspiratif datang dari seorang dai YDSF yang bertugas menguatkan dan melestarikan keislaman masyarakat Bali, khususnya di Buleleng. Ubaidullah Fadhil, dai yang sudah puluhan tahun berdakwah dan berhasil menuntun orang-orang mengucap dua kalimat syahadat. 

Pasang surut dan aneka kendala dilalui dai kelahiran Kediri Ini. Berlokasi di Kelurahan Seririt, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, jumlah pemeluk Islam berkisar di angka 15%, sisanya Hindu.

Ubaidullah Fadhil, yang lebih kerap disapa Ustadz Ubaid mulai  berdakwah di Bali diutus oleh Ketua Majelis Ulama Jawa Timur, April 1988. Bali saat itu masih minim pemahaman terhadap Islam.

“Belum ada kegiatan keagamaan sama sekali, seperti pengajian,” katanya.

Tahun 1989 dia menginisiasi perkumpulan jamaah, di Masjid Tauhid Minallah. Itu pengajian khusus untuk ibu-ibu. Beberapa bulan kemudian Ustadz Ubaid juga menginisiasi pengajian di Masjid Raya Seririt. Tahun 1991, jamaah sudah semakin berkembang. Mulanya hanya ada 15 ibu-ibu, sekarang sudah sekitar 200.

Kebaikan dan Berbagi

Strateginya tidak hanya menggaet hati umat Islam. Pendekatan dilakukan dengan menggandeng instansi dan aparatur negara mulai Kelurahan, Kecamatan, Polsek, dan Koramil. Dukungan pemangku kebijakan akan menjadi perlindungan dari berbagai gangguan.

Salah satu caranya, semua warga sekitar Seririt mendapatkan pembagian daging qurban. Tidak peduli warga nonmuslim. Daging sapi untuk warga muslim sedang daging kambing untuk umat Hindu.

Ada juga daging qurban yang sudah diolah menjadi makanan jadi. Ustadz Ubaid memperdayakan beberapa penjual sate untuk mengelola daging hingga siap santap. Istri sang ustadz juga mengolah menjadi masakan siap saji.

“Kalau daging hanya cukup untuk yang muslim, saya cari tambahan dana agar juga cukup untuk umat non muslim,” ujarnya.

Pernah suatu hari seorang beragama Hindu datang dan mengatakan Ustadz Ubaid bagaikan Tuhan, karena memberi tanpa pernah memandang siapa yang dibantu. Namun ustadz kelahiran 17 November 1961 ini segera meluruskan pernyataan kurang tamunya.

Tak heran bapak tiga anak ini selalu dihormati bahkan di kalangan umat Hindu. Tidak jarang ia dilibatkan dalam kegiatan mengisi ceramah bagi umat Hindu. Upaya pendekatan bahkan dilakukan melalui pendekatan personal.

Baca juga: 5.100 Paket Buka Puasa dan Takjil Bernutrisi YDSF untuk 11 Provinsi

“Tangan ini harus bergerak, kita bantu satu persatu orang yang membutuhkan, semampunya, hingga kita dikenal warga,” katanya seraya menyatakan ketika umat muslim berbuat kebaikan, mereka akan ingat dan membalas kebaikan kita.”

Ustadz Ubaid juga sering menggalang berbagai kegiatan sosial. Di antaranya seorang pedagang sate asal Madura yang selain sering mendapatkan pesanan dari berbagai kegiatanjuga dibantu modal. Begitu pula jika warga yang sakit, jamaah saling membantu.

Bedakan Sajian

Perkara makanan sempat menjadi gesekan antara umat Hindu dan Islam setempat. Umat muslim dianggap tidak menghargai sajian yang diberikan umat Hindu, padahal umat Hindu selalu bisa memakan makanan orang muslim. Ustadz Ubaid dengan tegas namun lembut menjelaskan duduk perkaranya secara Islam.

 “Kini umat Islam dan Hindu sudah paham. Ketika orang Hindu mengadakan hajatan, khawatir umat muslim salah ambil sajian, maka dibedakan tempat penyajian dan cara masaknya,” kisahnya.

 Dari sini Ustadz mengutip Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tinggal di daerah yang berpenduduk mayoritas ahli kitab. Bolehkah kami makan dengan menggunakan wadah mereka?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika kalian memiliki wadah yang lain, jangan makan dengan wadah mereka. Namun, jika kalian tidak memiliki wadah yang lain, cucilah wadah mereka dan makanlah dengan menggunakan wadah tersebut.”

Menjadi Mualaf

Kinni tercatat sudah ada sekitar 105 mualaf/mualafah yang dituntun Ustadz Ubaid untuk memeluk Islam. Mereka ini dituntun untuk melepaskan tata cara dan budaya peribadatan agama sebelumnya hingga benar-benar bisa lepas dan senantiasa kukuh pendirian beragama Islam.

Ustadz Ubaid bahkan mengingatkan untuk selalu memperhatikan sajian setiap kali menyantap makanan. “Kalau sedang berkumpul dengan keluarga yang beragama Hindu, selalu hati-hati untuk memperhatikan makanan,” pesannya.

Bertahan Hidup

Menjadi pendatang, beragama minoritas, tidak mudah mengawali dakwah bagi Ustadz Ubaidullah Fadhil kala itu. Berstatus perjaka dan hidup dengan modal seadanya ketika pertama kali ditugaskan berdakwah di Bali, ia harus berjuang menyambung hidup. Setelah menikah Ustadz Ubaid tinggal di rumah kontrakan bersama istri dan anaknya.

Untuk menghidupi keluarganya, ia sempat melakoni beberapa usaha. Dimulai dari berjualan tikar. Ustadz Ubaid kemudian banting stir. Bermodal pinjam alat pahat milik seorang siswa SMP, ia memahat kayu menjadi kaligrafi yang indah dan bernilai jual. Ia juga pernah berjualan batu alam, seperti marmer, dll.

Islam Dicap Teroris Pasca-Bom Bali

Perjuangan dakwah juga dilakukan beberapa dai yang tersebar di Bali. Beberapa dai dari Pondok Pesantren Sidogiri yang bermitra dengan YDSF juga turut serta menyebarkan dakwah Islam.

Salah satunya Ustadz Muhibbin, berdakwah di Lingkungan Menesa, Perumahan Raya Kampial, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Ustadz kelahiran Pasuruan ini berdakwah di kalangan umat Islam yang hanya 10%. Berbagai tantangan dan kendala banyak dijumpai.

Baca juga: Safari Dakwah dan Bakti Sosial YDSF di Lereng Merbabu, Semarang | YDSF

Begitu juga banyaknya nyinyiran dari masyarakat yang menganggap Islam sebagai agama radikal pasca peristiwa Bom Bali 2002 silam.

“Di sini kita tidak bisa berekspresi, kita tidak bisa bebas mengundang orang, tidak semua lingkungan mendukung kegiatan kita,” kata Ustadz Muhibbin ketika menjelaskan kendala-kendala dalam berdakwah. Perselisihan umat beda agama sudah biasa terjadi. Gangguan kebanyakan terjadi secara verbal, gangguan secara fisik sudah mulai berkurang.

“Sekitar tahun 2005, saat gencar-gencarnya peristiwa Bom Bali, orang sini tidak percaya umat muslim. Kita dikecam sebagai teroris. Bahkan ada preman yang datang mau bantai kita,” kenang Ustadz Jono, Ketua Kerukunan Umat Islam Perumahan Kampial.

Ketika kata toleransi menggaung di belantara republik, tidak terjadi di lingkungan ini. Pengeras suara tidak digunakan karena komplain masyarakat. Suara adzan hanya dikumandangkan di dalam ruangan. “Kalau mau shalat patokan utamanya ada di handphone masing-masing,” kata Muhibbin.

Kegiatan dengan menggunakan pengeras suara hanya dapat digunakan ketika sudah mendapatkan izin, seperti hari-hari besar keagamaan umat Islam, hari raya, dsb. Bahkan pernah harus pindah dari rumah ke rumah lainnya untuk menunaikan shalat lima waktu.

Luruskan

Di Kute Utara pergaulan bebas banyak meracuni remaja, seperti minuman keras dan narkotika. Dukungan orang tua terhadap anaknya untuk paham agama juga kurang. Banyak orang tua beranggapan tujuan utama anak adalah mencari uang, bukan untuk beribadah.

“Tidak apa-apa anak saya tidak shalat Ustadz, yang penting anak saya dapat kerja dulu,” kata orangtua yang ditanya apakah anaknya menunaikan shalat. 

Ustadz berumur 27 tahun ini juga fokus menangani berbagai persinggungan budaya. Banyak anak-anak kecil masih kurang memahami Islam jadi ikut-ikutan tata cara beribadah umat Hindu.

Ustadz Muhibbin menunjuk contoh anak-anak ngaji di TPQ menyembah temannya sambil membawa kembang.  Ketika ditanya, “Ya teman-teman saya shalatnya begitu,” jawabnya.

Begitu juga pengalaman dai yang berada di Desa Banyubiru, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali. Ustadz Hasan Basri menceritakan bahwa yang menjadi fokus permasalahan justru datang dari minimnya kesadaran umat Islam untuk memakmurkan masjid.

“Upaya kita menjadikan desa ini tidak menjadi desa mati, dalam artian masyarakat ramai untuk memakmurkan masjid,” kata Ustadz berdarah Madura ini.

“Mereka itu beragama Islam, tapi asing dengan ajaran Islam. Mereka seperti tidak memiliki ghirah semangat untuk mengikuti kegiatan di masjid ini,” katanya.

“Kesadaran umat Islam untuk mengerti Islam masih perlu digarap,” kata Ustadz Muhammad Mahur, Guru Tugas Pondok Pesantren Sidogiri. Ia bertugas di Pondok Pesantren Miftahul Hikmah, Desa Cupel, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali.

 

 

Perbanyak Sedekah Agar Hidup Semakin Berkah:


Artikel Terkait:

Masalah Halal dalam RUU Cipta Kerja | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
Generasi Masa Kini Berpedoman Al-Qur’an | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
YDSF Adakan Buka Bersama untuk Meningkatkan Kualitas Gizi Anak-anak Gresik
Rasulullah Menempa Kepahlawanan Ali bin Abi Thalib | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Doa Memohon Rezeki yang Berkah dan Umur Panjang | YDSF

 

Perjalanan ke Pulau Terpencil Kangean | YDSF NEWS


Tags: dakwah ydsf, dakwah ydsf di bali, ydsf di bali

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: