Jaminan Produk Halal di Indonesia | YDSF

Jaminan Produk Halal di Indonesia | YDSF

3 November 2022

Lebih dari satu tahun, UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diimplementasikan, muncul banyak kendala di sana sini dalam penerapannya, pemerintah sudah mengisiasikan RUU yang akan merevisi UU No. 33 tahun 2014 ini.

Omnibus law, sebutan untuk RUU tersebut, karena sifatnya tidak hanya mengamandemen satu UU saja, tapi ada banyak UU yang akan direvisi, salah satunya UU Jaminan Produk Halal (UU JPH). UU JPH yang belum sepenuhnya diimplementasikan sudah dianggap menjadi salah satu kendala dalam percepatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sehingga harus direvisi. Inilah nasib UU JPH yang sejak awal setengah-setengan dijalankan. Betapa tidak, untuk menyiapkan Peraturan Pemerintah yang akan menjadi petunjuk pelaksanaanya saja butuh waktu hampir lima tahun.

RUU Omnibus Law atau yang dikenal dengan RUU Cipta Kerja akhirnya dirampungkan dan disahkan tanggal 2 November 2020 yang lalu. Terkait dengan pelaksanaan jaminan halal, Peraturan Pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaannya pun telah dirampungkan, yakni PP No. 39 Th. 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, yang telah disahkan tanggal 2 Februari 2021.

Penerbitan UU Cipta Kerja diikuti dengan PP No. 39 tahun 2021, merupakan babak baru dari perkembangan kebijakan jaminan produk halal di Indonesia. Hal yang berbeda dari sebelumnya, keberadaan MUI yang semakin dikurangi keterlibatannya dalam penyelenggaraan jaminan halal. Jika pada UU Jaminan Produk Halal MUI ikut terlibat dalam proses standarisasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) serta sertifikasi auditor, maka di era terbaru ini peran MUI hanya sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa penetapan produk halal.

Kebijakan ini terkesan tak bisa dilepaskan dari isu sebelumnya yang melihat MUI sebagai lembaga yang memonopoli pelaksanaan jaminan produk halal. Padahal jika melihat secara obyektif, eksistensi MUI bukanlah memonopoli, tetapi karena MUI yang mengambil peran untuk mengatasi masalah halal haram ini. MUI lah yang menginisiasi sertifikasi halal di Indonesia di saat tidak ada lembaga lain yang melakukan atau mengambil inisiatif untuk menangani masalah tersebut.

Audit

Masalah krusial yang muncul dari pemberlakuan UU Cipta Kerja terkait dengan Jaminan Produk Halal adalah munculnya pasal 4A yang dimasukkan ke dalam UU No. 33 tahun 2014, yang menyatakan bahwa untuk pelaku usaha mikro dan kecil, kewajiban bersertifikat halal didasarkan pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil sendiri. Hal ini dipertegas dengan pasal 79 PP No. 39 tahun 2021. Ketentuan ini sama artinya dengan pelaku usaha mikro dan kecil dibebaskan dari sertifikasi halal.

Baca juga:
Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia | YDSF
Batas Penghasilan Wajib Zakat | YDSF

Sementara ini yang sudah berjalan, prinsip sertifikasi pada dasarnya adalah berbasis pada audit atau pemeriksaan lapangan. Jika sertifikat bisa diterbitkan tanpa adanya pemeriksaan lapangan atau pemeriksaan ke lokasi, bagaimana bisa diketahui atau dipastikan konsistensinya dalam memproduksi produk halal.

Penerapan audit merupakan hal penting dalam proses sertifikasi, yang bertujuan untuk melakukan penelusuran dalam proses pembuatan dan penelusuran bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk yang akan disertifikasi. Karena itu, traceability (kemamputelusuran) bahanbahan baku dari suatu produk sangat menetukan dalam proses sertifikasi halal.

Contoh sederhana dalam kasus produksi ayam goreng. Perlu diketahui proses pengadaan daging ayamnya diperoleh dengan menyembelih sendiri ataukah membeli. Jika dari orang lain, masih perlu dipastikan lagi proses penyembelihannya bagaimana, siapa yang menyembelih dan seterusnya. Juga proses penggorengannya, fasilitas produksi yang digunakan, minyak yang digunakan, pemilihan bumbubumbunya.

Lebih-lebih jika perusahaan memiliki klasifikasi produk yang lebih kompleks dari sisi bahan-bahan yang digunakan. Sudah tentu lebih kompleks lagi proses pemeriksaannya. Semua itu, selain memerlukan pemastian prosesnya, juga membutuhkan pemastian konsistensinya.

Itulah sebenarnya makna serifikasi halal selama ini yang memberikan jaminan halal. Dengan adanya perubahan kebijakan ini, yang dituntut untuk bekerja lebih ekstra adalah BPJPH. Peran pengawasan perlu dilakukan lebih ketat dan intensif. Karena itu, keberadaan BPJH harus diperluas tidak hanya di pusat seperti selama ini, tetapi perlu ada sampai di tingkat kecamatan, sehingga bisa melakukan pelayanan dan pengawasan lebih dekat. Jumlah pelaku usaha kecil dan mikro sangat banyak, jauh lebih banyak dari perusahaan menengah dan besar. Bagi konsumen muslim sudah tentu yang menjadi harapan semoga kebijakan baru ini efektif memberikan jaminan halal kepada masyarakat.

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi April 2021

 

Artikel Terkait:

Hukum Jual Beli Kucing | YDSF
ZAKAT PADA BARANG INVESTASI | YDSF
Berdoa dengan Menyebut Nama Perantara (Tawassul) Orang yang Sudah Meninggal | YDSF
APA ITU WAKAF? PENGERTIAN, DALIL, DAN HUKUM WAKAF | YDSF
Tertulis No Pork Bukan Jaminan Halal | YDSF
HUKUM ZAKAT PENGHASILAN DALAM ISLAM | YDSF
Hukum Gadai Barang dalam Islam | YDSF

 

Zakat Mudah di YDSF:


Kisah Ahmad Fauzan, Disabilitas yang Hanya Mendapatkan Nutrisi dari Teh



Tags: jaminan produk halal, produk halal

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: