Kisah Mualaf, Hidayah Melalui Mimpi | YDSF

Kisah Mualaf, Hidayah Melalui Mimpi | YDSF

15 Juni 2020

Sebut saja aku Melati. Sejak usia tiga hari aku telah diadopsi oleh keluarga nasrani. Itu membuat aku pun memeluk agama yang sama dengan mereka. Kabarnya, keluarga asliku muslim.

Aku pun menikah dengan orang nasrani dan menetap sebagai warga Kota Surabaya. Di usiaku yang kini telah menginjak 45 tahun ini, aku benar-benar bersyukur pada Allah. Lantaran aku masih berkesempatan mengenal dan merasakan nikmat Islam dalam hidupku.

Awalnya, meski aku memiliki teman bahkan sahabat yang muslim, namun aku tak memiliki ketertarikan terhadap perilaku Islam mereka. Saat itu aku tidak memiliki keraguan sedikit pun pada agamaku.

Perjalananku mulai mengenal Islam berawal dari sebuah mimpi yang tiba-tiba datang. Ketika putra keduaku berumur tiga tahun, aku bermimpi akan mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat justru saat akan diajak ibadah ke gereja. Sontak, hal ini membuatku terkejut dan bertanya-tanya.

Aku pun menceritakan mimpi itu pada suamiku keesokan harinya. Namun ia hanya menanggapinya, “Ah kamu!”

Mimpi itu tak membuatku tertarik mengenal Islam. Justru malah membuatku semakin getol beribadah di gereja. Juga makin rajin mengikuti gembala sidang.

Bertahun-tahun berlalu. Datanglah mimpi kedua. Dalam mimpi itu, aku melihat seseorang memakaikan hijab kepadaku, tetapi aku tak melihat siapakah dia. Untuk menghindari resahku akan mimpi itu, aku pun semakin getol melayani Tuhanku.

Datanglah mimpi ketiga. Selang beberapa tahun. Aku bermimpi, seseorang sedang menuntunku berjalan jauh dengan menggandeng tanganku. Mimpi ketiga ini mendorong aku menceritakannya kepada sahabatku. Ia seorang muslim. Ia pun mengajakku datang ke sebuah pesantren di wilayah Surabaya Utara. Pesantren Al Fitrah. Banyak penjelasan aku dapatkan. Meski begitu, pintu hatiku belum terketuk untuk mengenal Islam.

Pada tahun 2009, aku memutuskan berpisah dari suamiku. Banyak ketidakcocokan yang aku hadapi membuatku tak sanggup mempertahankan bahtera rumah tangga kami. Keadaan makin berubah ketika putra bungsuku mulai tertarik dan penasaran terhadap Islam.

“Mama, kalau orang sedih terus shalat kok enak, kenapa ya?” tanya putra kecilku.

Tak heran jika ia bertanya demikian. Di lingkungan rumah kami dulu, ia tumbuh di sekeliling anak-anak muslim. Pertanyaannya tak berhenti hanya satu itu. Ia mulai menanyakan, bagaimana kehidupan di pesantren dan kekhawatirannya disebut sebagai anak kafir karena tidak disunat.

Keterbatasan pengetahuanku tentang Islam membuat aku tak mampu membantu putraku menemukan jawaban dari tiap pertanyaannya. Aku pun meminta bantuan sopirku. Ia seorang muslim.

Aku berusaha memenuhi keinginan anakku. Kubawa ia ke dokter, untuk sunat. Kumasukkan ia ke pesantren, untuk mengenal Islam lebih dekat. Putra bungsu yang sangat aku sayangi, menjadi mualaf di usianya yang begitu dini. Saat ia naik ke kelas enam sekolah dasar.

Di tahun 2015, aku akhirnya mulai memberanikan diri belajar mengenal Islam. Tentunya melalui bantuan sopirku. Aku dipertemukan dengan tokoh agama sekitar rumahku di Manado. Tahun 2016 aku memutuskan menjadi seorang muslim. Aku dibaiat di Manado.

Keluarga besar angkatku mengetahui itu. Dan, itu membuat mereka sudah tidak menganggapku kembali. Aku pun kembali ke Surabaya. Hidup dengan kedua putraku.

Pada masa awal keislamanku, aku belum mengenakan hijab. Kusadari, banyak ujian yang datang. Bahkan pernah, aku sama sekali tak memiliki uang sepeser pun. Hal itu terjadi karena aku terkena gendam sepulang aku mengunjungi putra bungsuku di pesantren.

Semua ujian yang aku hadapi, tak kuceritakan kepada kedua putraku. Terutama putra sulungku yang masih seorang Nasrani. Ia pasti mencercaku karena aku memutuskan untuk pergi dari ayahnya. Perlahan aku memberikan pengertian kepadanya. Mengapa aku tidak bisa kembali dengan ayah mereka. Alasan yang paling kuat sering kugunakan adalah karena kami sudah tak seakidah.

Ujian datang silih berganti. Tak hanya dari segi materi. Namun, juga dalam kesehatan pun aku juga diuji. Sakit sering aku alami. Bahkan hampir tiap bulan aku sakit. Pada suatu ketika, saat sakit, lagi-lagi putra bungsuku memberikan pencerahan.

“Mama, jangan sampai malaikat pencabut nyawa Mama dalam keadaan aurat Mama terbuka,” katanya.

Aku pun sontak tersentuh dan tergerak mengenakan hijab. Kuakui, semakin aku ingin mendalami Islam, makin banyak ujian. Bahkan dari putra bungsuku yang banyak mengajariku tentang Islam.

Ia pernah mogok mondok karena bosan. Aku memenuhi permintaannya untuk kembali ke sekolah umum. Ternyata Allah masih melindungi kami. Allah menggerakkan hati putraku, ia mau kembali ke pesantren. Menurutnya, kehidupan di luar pesantren lebih keras.

Sampai saat ini, aku dan putra bungsuku juga masih berusaha menggerakkan anak sulungku agar mau memeluk Islam. Meski dia suka mendengarkan ceramah Zakir Naik, tapi belum tergerak untuk menjadi seorang muslim.

Kami rindu hidup bersama. Karena kini, kami tak tinggal serumah. Aku tahu betul bahwa sejatinya kedua putraku merindukan sosok ayah yang bisa selalu dekat dengan mereka.

Meski hidup di atap kos yang berbeda-beda, aku yakin suatu saat nanti kami bisa bersatu kembali. Dalam hangatnya keluarga, dalam nikmat Islam.

Aku memang belum mengenal Islam dan Al Qur’an. Tapi aku benar-benar yakin bahwa Islam adalah agama yang haq. Ada damai dan keindahan di dalamnya.

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi Januari 2019

 

Featured Image by Freepik.

 

Baca juga:

Kisah Inspiratif : Jemput Jodoh dengan Islam | YDSF

MEMAHAMI ERA NEW NORMAL | YDSF

Kisah Keluarga Teladan dalam Al Quran | YDSF

PERSIAPAN DIRI MEMASUKI ERA NEW NORMAL | YDSF

Kisah Mualaf dari Ausi, Terlahir Tak Kenal Tuhan | YDSF

FASE NEW NORMAL, HATI-HATI DENGAN OTG | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: