UU Jaminan Produk Halal Belum Optimal | YDSF

UU Jaminan Produk Halal Belum Optimal | YDSF

15 Februari 2023

Baru-baru ini, masyarakat kita sempat dibuat galau dengan adanya produk minuman baru (dari luar negeri) yang status kehalalannya diragukan. Memang, produk tersebut telah mengantongi izin halal dari negara asalnya. Namun, bagi sebagian besar masyarakat kita masih merasa kurang sreg bila izin halal dari suatu produk belum dikeluarkan dari pemerintah Indonesia. Alhamdulillah, kini produk tersebut telah mendapatkan sertifikasi halal dari MUI.  

Sebenarnya, kita telah memiliki undang-undang yang mengatur jaminan produk halal dengan terbitnya UU No. 33 tahun 2014. Pemerintah telah menetapkan komitmen sejak 17 Oktober 2019. Akan menjalankan undang-undang Jaminan Produk Halal ini secara bertahap. Produk undang-undang ini juga mempunyai nuansa mewajibkan setiap produsen pangan, obat, kosmetika dan bahan-bahan gunaan terkait produk untuk disertifikasi halal. Subtansi UU ini tentu memberikan angin baik di masa datang terkait ketersediaan produk halal yang semakin terjamin. Kita patut mensyukurinya.

Namun implementasi UU yang sudah berjalan beberapa bulan, belum memberikan kejelasan keefektifannya. Berbagai persoalan belum jelas penyelesaiannya. Lembaga yang mendapat amanah menangani, tampaknya belum siap. Akibatnya, beberapa pelaku usaha yang ingin mengurus sertifikat halal kebingungan harus melakukan apa.

Di sisi lain masih banyak juga konsumen dan produsen yang belum tahu ada kewajiban sertifikasi karena sedikitnya sosialisasi. Maka banyak perusahaan seperti restoran-restoran besar yang merasa aman tidak mengurus sertifikasi halal, tidak mempedulikan konsumennya yang muslim.

Di tengah kondisi seperti ini, sebenaranya yang paling penting adalah sikap konsumen muslim sendiri. Sikap apa yang perlu dibangun, yaitu sikap yang terus konsisten dengan peduli halal.

Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Di antara yang halal dan yang haram ada hal-hal yang musytabihat (samar), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barangsiapa berhati-hati dari perkara syubhat, ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus kepada perkara subhat, maka ia terjerumus kepada yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir tak terhidarkan ia akan melanggar larangan itu.” (H.R. Muslim no.2996)

Nabi Muhammad saw. juga menyampaikan, “Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Sabda Rasulullah saw. menegaskan agar kita semua berhati-hati terhadap hal-hal yang syubhat, hal yang belum jelas halal dan haramnya. Ini menjadi landasan perlunya sikap peduli pada halal. Ke mana pun dan di mana pun setiap akan mengkonsumsi sesuatu, halal menjadi pertimbangannya.

Dalam hal ini Rasulullah bersabda: “Mencari yang halal adalah wajib bagi setiap orang Islam.” (HR al-Thabarani, dalam al-Ausath, dengan sanad hasan).

Baca juga: 
Konsumsi Obat Berbahan Haram | YDSF
JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA | YDSF

Bersikap Kritis

Ringkasnya, sikap peduli halal membutuhkan kiat-kiat sederhana yang mudah diimplementasikan. Sikap yang perlu diperankan oleh seorang muslim adalah: (1) kritis dalam menyikapi produk-produk olahan, (2) teliti dalam berbelanja dengan cara selalu memperhatikan aspek halal ketika bebelanja produk olahan, (3) berupaya menghindari dari yang belum jelas identitasnya, (4) berproduksi yang menjamin kehalalan, dan (5) selalu membaca basmalah sebelum mengkonsumsi.

Konsumen muslim jangan abai atau kurang memperhatikan persoalan ini. Apalagi meremehkan, mengentengkan masalah, menganggap tidak ada masalah, bahkan meledek orang-orang yang berhati-hati dengan ungkapanungkapan yang mengecilkan.

Sungguh menyedihkan menjumpai konsumen muslim yang masih memadati rumah makan, kedai, cafe yang jelas-jelas menyediakan menu tidak halal. Contoh, makan dengan nyaman di rumah makan yang jelas menjual menu babi seperti bacon steak, tapi juga menjual menu lain semisal beef steak atau steak sapi.

Seolah tak ada masalah. Padahal masalahnya serius. Babi adalah najis berat. Dengan ada menu mengandung babi seperti ini, tidak ada jaminan dalam proses mencuci peralatan dan proses memasaknya tidak tercampurkan. Meski memilih menu non-babi, tapi terkontaminasi babi.

Kenyataan ini tidak disadari konsumen muslim karena tiada adanya sikap peduli halal. Akibatnya ketika aturan tidak efektif berjalan, para pelaku usaha merasa aman-aman saja saja. Mereka berujar, begini saja laku kenapa repot-repot mengurus sertifikat halal yang malah mereka merasa tidak bebas.

Nah, inilah masalah kita selama ini. Implementasi peraturan tentang jaminan halal yang belum efektif perlu terus didorong dengan disuarakan ke publik, sehingga pemerintah selaku otoritas kebijakan akan tergerak. Tidak seperti sekarang, yang terkesan santai-santai saja ketika tidak bisa menjalankan amanahnya.


Sumber Majalah Al Falah Edisi Februari 2020

 

 

Zakat di YDSF


 

Artikel Terkait

Kisah Qarun dalam Al-Qur’an, Orang Kaya Binasa Tak Mau Zakat | YDSF
ZAKAT DARI UANG PESANGON PENSIUN | YDSF
Sejarah Datangnya Islam di Qatar | YDSF
FIDYAH DALAM ISLAM DAN KETENTUANNYA | YDSF
Kisah Mualaf, Musibah Membuatku Hijrah | YDSF
WAKTU MEMBAYAR ZAKAT MAAL | YDSF
Kisah Abu Dahdah, Si Pemilik Kebun Kurma di Surga | YDSF

 

Zakat Melalui Lembaga



Tags: uu jaminan halal, jaminan produk halal, produk halal, uu halal

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: